![]() |
Limbah tambang mencemari lingkungan |
Sebagai mukaddimah diawal sekali sy ingin mengurai satu perdebatan yg berumur cukup tua yg mengisi ruang sejarah kehidupan di bumi, bahkan sampai hari ini perdebatan mengenai mahluk psikofisik ini belum juga selsai dalam artian yg tuntas; yaitu pengertian tentang manusia itu sendiri.
Berbagai pertanyaan dan temuan terus bermunculan, namun defenisi tentang manusia belum juga terjawab secara tuntas; Barangkali saking kompleks dan multi dimensinya manusia, hingga pengertian secara harfiahnya pun sulit utk diuraikan secara mutlak.
Terkait funsional, Apabila kita mulai memandang manusia atas kemampuannya berpikir, maka kita sebut manusia sebagai "animal rasional" atau "hawayan nathiq";
Apabila kita mulai menitik beratkan pada pembawaan kodrat manusia hidup bermasyarakat, maka kita sebut manusia sebagai "zoon politikon" atau "homo socius";
Apabila kita mulai menitik beratkan pada adanya usaha manusia untuk menutupi kecukupan hidupnya, maka kita memberi pengertian manusia sebagai "homo economicus";
Apabila kita mulai menitik beratkan kepada keistimewaan manusia menggunakan simbol simbol, maka kita sebut manusia sebagai "Homo symbolicum";
Apabila kita mulai memandang manusia sebagai mahluk yang selalu membuat bentuk bentuk baru dari bahan bahan alam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka kita sebut manusia sebagai "Homo faber";
Dan sebagainya dan sebagainya.
Nah, setiap manusia memiliki perspektif yang berbeda beda dalam mendefenisikan dirinya sendiri.
Tapi yang musti kita sadari dan akui bahwa, individu manusia hari ini cenderung kuat pada pengertian yg bertendensi ekonomistis.
Kita memahami lahirnya ideologi kapitalistik pasca perang dingin adalah pengaruh besar bagi perubahan corak produksi manusia, bahkan berefek tajam pada perubahan tradisi budaya dan pola pikir.
Kapitalisme sendiri adalah satu set ideologi yang mengajarkan manusia tentang cara mengelola uang; Maka muncullah lembaga lembaga dunia seperti Word Bank, IMF, PBB, WHO, OPEC, APEC, dll, termasuk juga industrialisasi dan corak produksi (korporasi), mekanisme penguasaan sumber daya alam dll, yg kemudian di kerangkeng dan kendalikan oleh sistem kapitalisme global.
Kapitalisme juga mengajarkan manusia tentang pandangan hidup, kemudian melahirkan individualisme, liberalisme, sekulerisme dll, termasuk juga tergerusnya penghargaan terhadap lingkungan dan nilai nilai kemanusiaan.
Inilah dinamika globalisasi abad ke 21.
Dan Indonesia adalah salah satu negara yang menyodorkan proposal untuk ikut serta dalam sistem kapitalisme. Yang akhirnya kita dipaksa untuk ikut serta dalam tradisi yang dibangun kapitalistik tsb.
Alam dan manusia yang jadi korban, tapi yang menikmati orang lain. Kita sebagai pemilik tanah cuma dapat mudarat, cuma dapat residu, cuma dapat endapan, cuma dapat ampas, cuma dapat debu.
Berkaitan dengan G. Semoan, yg menjadi isu publik popular belakangan ini; ya memang agak susah apabila kita mulai berdebat dengan orang yang tidak memiliki latar belakang keilmuan "evironmental etik", karena berpikirnya secara materialistis. Uang, uang dan uang terus yang ada dipikirannya. Mereka lupa dengan kerusakan alam, mereka lupa dengan legasi apa yang akan kita tinggalkan untuk anak dan cucu kita nanti. Dan kita terus menerus meragukan diri kita sendiri, seolah olah kita tidak memiliki kemampuan untuk mengelola sektor sektor lain yang lebih potensial yang tidak melulu berkeinginan untuk merusak alam.
Kue tambang memang begitu nikmat, yang membuat pemerintah cendrung berpikir praktis. Malas berpikir lalu ingin mengorbankan alam. Betapa sempit dan rendahnya jalan pikiran mereka.
Belum sadar juga dengan penjajahan gaya baru (bahasa halusnya investor) , yang kemudian tidak perlu mengangkat senjata lalu dar der dor. Mereka cukup menguasai eksekutif, legislatif dan pribumi licks, lalu diujung ada upaya mengadu domba sesama rakyat, betapa rendahnya cita rasa kita sebagai manusia. Wallahualam
Komentar
Posting Komentar